Jumat, 04 Juli 2014

#Pencermat: Pengakuan The Jakarta Post

"Pengakuan" The Jakarta Post

Hari ini harian The Jakarta Post mengeluarkan editorial berjudul "Endorsing Jokowi". Editorial tersebut bukanlah sekedar tulisan opini, tapi sekaligus "pengakuan" bahwa The Jakarta Post mendukung calon presiden tertentu dalam pilpres 9 Juli 2014.

Persoalan dukung-mendukung kandidat, sebenarnya bukan hal baru lagi di dunia media massa. Ambil contoh di Amerika, ada The New York Times yang juga memberi "pengakuan" bahwa koran berusia 163 tahun itu mendukung Barack Obama dalam pilpres 2012 lalu. Caranya persis dengan The Jakarta Post, mereka juga menuliskannya melalui editorial dengan judul "Barack Obama for Re-election".

Contoh lain tentang "pengakuan" mendukung Obama, dilakukan oleh majalah The Economist. Majalah yang didirikan oleh James Wilson (juga pendiri Standard Chartered) itu bahkan punya catatan "pengakuan" dukung-mendukung cukup panjang. The Economist sejak 1980 hampir selalu memberi dukungan pada kandidat tertentu dalam editorialnya menjelang pilpres Amerika. Nama-nama yang mereka dukung antara lain Bill Clinton (1992), Bob Dole (1996), George Bush (2000), John Kerry (2004), Obama (2008 dan 2012). Tidak semua terpilih jadi Presiden, tapi yang jelas The Economist memberi "pengakuan" bahwa mereka memberi dukungan.

Di Indonesia, sebenarnya juga terjadi hal yang sama soal dukung-mendukung ini. Namun bedanya tak ada yang mau memberi "pengakuan". Sebut saja harian Media Indonesia yang pada pileg lalu memberi dukungan pada Nasdem dan di pilpres mendukung Jokowi-JK. Ada pun Koran Sindo yang di pileg mendukung Hanura dan di pilpres mendukung Prabowo-Hatta. Kita sebagai masyarakat sebenarnya tahu kalau Media Indonesia dan Koran Sindo mendukung salah satu partai atau kandidat. Lihat saja dari berita-berita produksi mereka, hanya saja tidak pernah ada "pengakuan" langsung terkait dukungan tersebut. Sepertinya di Indonesia baru The Jakarta Post yang resmi memberi "pengakuan". Soal jarangnya media di Indonesia yang memberi "pengakuan" mungkin ada kaitannya dengan kultur bangsa kita yang malu-malu. Yang kalau berterus-terang  justru dikatakan tidak tahu akan norma kesopanan.

Lagi pula perlu di ingat untuk kasus The Jakarta Post sebenarnya ada pengecualian. Pasalnya The Jakarta Post adalah koran berbahasa asing, yang punya segmen pembaca masyarakat asing. Jadi ya sebenarnya mau memberi "pengakuan" juga gak masalah sih. Toh ini kan ditujukan untuk pembacanya yang memang punya budaya lebih terbuka akan keterus-terangan.

Apakah media tidak pernah netral?
Media pada dasarnya tidak pernah dituntut untuk netral. Setidaknya begitulah yang tertulis jelas dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 1 KEJ hanya meminta "Wartawan (Media) Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk". Kuncinya adalah independen yang sebenarnya kata itu tidak ada dalam KBBI, hehe...

Kita anggap saja Independen itu sama dengan kata Independent dalam bahasa inggris. Independent menurut Oxford Dictionary berarti Free from outside control; not subject to another’s authority. Terjemahan Indonesianya kurang lebih bebas berkehendak sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak terkekang oleh kepentingan-kepentingan di luar redaksi (mulai dari pemilik, bagian iklan, sampai yang benar-benar letaknya di luar media itu sendiri seperti pemerintah, dll.) Selain itu media tetap harus memperhatikan embel-embel "akurat, berimbang, dan tidak beritikat buruk" sebagaimana KEJ. Selama mengikuti tiga embel-embel itu maka berita media sebenarnya sudah bisa disebut profesional menjalankan kegiatan jurnalistiknya.

Ke-independent-an itulah yang berlaku untuk menulis berita, bukan kenetralan. Logikanya dalam menulis berita saja boleh independent, apalagi untuk sebuah editorial yang jelas sebuah opini. Mau mendukung atau tidak, itu sah-sah saja.

"Pengakuan" elit
Tapi pertanyaanya apakah The Jakarta Post memberi "pengakuan" dalam editorialnya itu atas dasar rapat keredaksian? Apakah editorial tersebut dibuat tanpa adanya tekanan dari pemilik dan kelompok penekan lainnya? Jangan-jangan penulisan editorial itu hanya dilakukan oleh segelintir elit The Jakarta Post saja? Jangan-jangan iya. Jangan-jangan tidak seluruh awak redaksi sebenarnya setuju untuk memberi dukungan pada kandidat tertentu. Harusnya kan editorial jadi cerminan opini seluruh awak redaksi. 

Maka akan kasihan jadinya wartawan The Jakarta Post yang ternyata punya pendapat berbeda dari editorial tersebut, tapi suaranya dibuat seragam oleh adanya "pengakuan". Sesungguhnya dia sudah terkekang dengan "pengakuan" editorial itu. Sehingga jika ingin membuat sesuatu yang berseberangan dengan "pengakuan" tersebut, tentu jadi berpikir ulang atau bahkan mengurungkan niat. Lalu kalau sudah ada yang terkekang dalam redaksi begini dimanakah letak independent seperti yang didengungkan dalam kode etik? Kalau sudah begini bukankah lebih baik kembali abu-abu saja?


NB: Postingan ini dibuat sebagai keikutsertaan saya sebagai #Pencermat (Pencerita Jumat). Jadi saya dan beberapa teman seperti Rizki, Tito, Andra dan Dimas berjanji untuk menuliskan cerita apapun setiap hari Jumat. Ini adalah tulisan kelima saya sebagai #Pencermat.

2 komentar:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus