Jumat, 27 Januari 2012

Demokrasi untuk Ketua RW?

Pamflet pemilihan Ketua RW yang ada di pemukiman belakang Jatos, Jatinangor

Entahlah, sepertinya semua-semua itu baru dianggap adil kalau sudah melalui jalan demokrasi. Ya maklum juga sih, soalnya kan sistem negara kita begitu. Jadi mau gak mau, demokrasi selalu dianggap sebagai cara yang paling benar. Efeknya ya, mulai dari pemilihan presiden, anggota DPR, ketua kelas di sekolah, pengurus masjid, sampai ketua RW, sampe ikut-ikutan demokratis (sok demokratis). Semuanya harus lewat PEMILU & VOTING!

Padahal, lingkungan RW kan hanya sebuah skup kecil dalam kategori pembagian wilayah. RW hanya satu tingkat di atas RT, biasanya menampung kurang lebih 7-10 RT. Dan menurut peraturan menteri dalam negeri, satu RT itu isinya 30-50 kepala keluarga. Paling-paling juga maksimal satu RW tidak sampai 500 KK, sehingga secara kedekatan pasti orang-orangnya juga masih pada mengenal satu sama lain.


Lalu untuk apa ada pemilihan cara demokrasi begitu, layaknya PEMILU presiden saja. Apakah mereka tidak belajar kalau PEMILU Presiden Indonesia itu lebih banyak jeleknya. Coba saja lihat duit yang dikeluarkan jumlahnya berjuta-juta milyar rupiah. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk VOTING, ah sungguh tidak masuk diakal. Lagi pula siapa sih yang kenal calon-calon presiden secara personal?, atau bahkan kadang tahu kinerjanya saja tidak, eh tiba-tiba disuruh memilih. Ya pasti jadi ngaco hasilnya. Bukankah alangkah baiknya jika duit PEMILU & VOTING yang segitu banyak dijadikan tambahan biaya pendidikan atau kesejahteraan masyarakat?

Harusnya RW belajar dari kesalahan PEMILU Presiden Indonesia. Duit pamflet-pamflet, duit formulir, dan duit-duit untuk PEMILU lainnya sebaiknya disimpan saja. Nanti baru dikeluarkan ketika ada kegiatan mengaspal jalan, membuat saluran air, atau santunan ke tetangga yang kurang beruntung. Kalau benar masyarakat Indonesia itu kekeluargaan dan saling gotong royong, harusnya dari lingkungan RW pun terlihat bakat-bakat pemimpin, bakat-bakat calon Ketua RW. Biasanya dilihat dari mana warga yang paling aktif, mana warga yang selalu membantu tetangganya, dan mana warga yang paling bisa bersosialisasi. Warga pun tak perlu sulit-sulit memilih, karena memang sudah jelas kinerjanya.

Atau mungkin, bayangan saya terhadap masyarakat Indonesia hanyalah utopia belaka yang kenyataannya jauh dari kekeluargaan dan kegotong-royongan. Mungkin masyarakat Indonesia yang sebenarnya adalah yang tidak kenal dengan tetangga, sehingga jalan PEMILU semakin tak terhindarkan. Di mana pamflet-pamflet lebih mujarab dibandingkan gosip-gosip tetangga. Di mana kampanye lebih efektif dibandingkan kenyataan sehari-hari. Semoga saja tidak.

4 komentar:

  1. Pak RT dan Pak RW dpt gaji ngga dar?

    BalasHapus
    Balasan
    1. dulu bokap gw pernah jadi ketua RW di Bekasi dung, setau gw sih dapet uang bulanan tapi jumlahnya klo gak salah gak lebih dari 200rb, tapi gw gak tau dari mana asalnya... ini ada tulisan informatif tentang uang bulanan bagi RT/RW (tapi untuk DKI Jakarta), bisa dicek dung--> http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/27/dana-insentif-operasional-rtrw-bukan-merupakan-gaji/

      Hapus
  2. haha.. kirain pengumuman Ketua RT yang hilang.. haha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang lo kira sinetron ki?, mentang2 abis masuk tipi lu, haha...

      Hapus