Sabtu, 02 Agustus 2014

Untuk Bapak #Cerpen

 

Sejak saat itu aku tersadar, kalau Bapak bukan lagi milik ku saja. Tepatnya tanggal empat, bulan sebelas, tahun lalu. Sejak orang-orang dari Perkumpulan Tanah Air mendatangi  rumah. Bapak pergi jadi milik seluruh masyarakat, bukan lagi milik ku seorang, dan aku hanya bisa pasrah.

Sebagai anak, aku harus rela membagi-bagi Bapak dengan orang lain.  Kalau dulu setiap makan malam, Bapak hanya punya ku. Makan malam hanya berdua dengan ku. Tersenyum, tertawa, berbicara panjang lebar tentang dunia. Aduh, sungguh aku merindunya.

Tapi apa bisa dibuat. Bapak memang tetap melakukan makan malam itu, hanya saja kini dengan orang lain. Terkadang bahkan orang yang belum dikenalnya. Kadang aku harus menunggu sampai tiga bulan. Ya tiga bulan yang berisi 90 hari itu. Aku harus menunggu selama itu hanya untuk bisa makan malam lagi dengan Bapak.

Entahlah, tapi Bapak kelihatan biasa-biasa saja. Seperti tidak rindu pada semua hal yang pernah kita lakukan dahulu. Orang bilang itulah sikap negarawan sejati, tapi aku tetap saja sedih dalam hati. Mungkin aku egois, tapi biarlah toh dia Bapak ku. Bapak kandung ku, bukan Bapak kalian. Gak akan ada yang paham deh.

Akhirnya tiba juga saat Bapak harus mengucapkan janji kenegaraanannya. Mau tak mau aku pun harus datang ke Istana Negara. Aku lah keluarga dia satu-satunya. Ibu meninggal sudah lama. Ketika Bapak bersumpah di atas Al-Quran. Ketika seluruh televisi meliput, dan ribuan flash hanya tertuju pada Bapak. Aku menangis. Entahlah air mata itu terus mengalir, seperti tak mau dibendung.

Aku menangis, bukan karena sedih bapak harus ku bagi-bagi dengan orang lain. Itu aku sudah tahu akan terjadi dari tahun lalu. Aku menangis sebenarnya karena mendengar sumpah Bapak. Sebuah sumpah yang tak akan aku lupa kata-katanya. Terutama yang membuat ku tak kuasa menahan air mata adalah tujuh kata terakhirnya.

"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar, berbakti kepada Nusa dan Bangsa, dan mendahulukan kepentingan masyarakat daripada keluarga saya sendiri"

Aku benar-benar tak paham mengapa tujuh kata terakhir itu keluar dari mulut Bapak dengan lantang, tanpa gugup. Aku benar-benar tak paham kenapa tujuh kata terakhir itu bisa diucapkannya dengan lancar. Aku benar-benar tak paham dengan Bapak. Memangnya masyarakat sepenting itu?, Kenapa keluarga harus di nomer dua kan?, Siapa yang kemudian mengurus aku yang sendirian?

Andai waktu bisa aku ulang. Orang-orang perkumpulan Tanah Air mungkin sudah aku usir dari awal, dari sejak dia mau masuk ke dalam rumah ku. Jadi Bapak tidak perlu harus berjanji seperti saat ini. Bapak tidak perlu jadi Presiden yang mendahulukan masyarakatnya daripada keluarganya sendiri. Seandainya saja...

NB: Cerpen ini dibuat untuk orang-orang yang berniat menjadi presiden, anggota DPR, walikota, camat, dan berbagai macam pemimpin lainnya.

4 komentar:

  1. kan keluarga itu masyarakat juga Dar. Kecuali keluarganya bukan WNI. :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ih kakak bisa aja :), btw ini kak rizki founder http://www.cardtopost.com/ yah, asik blog aku dikunjungin sama kakak :p

      Hapus
  2. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus